Jumat, 23 Agustus 2013

dalil penyusunan dalam pembelajaran matematika menurut Bruner

Dalil PenyusunanKonsep dalam matematika akan lebih  bermakna jika siswa mempelajari melalui penyusunan representasi obyek yang dimaksud dan dilakukan secara langsung. Dari beberapa pandangan tentang dalil penyusunan Bruner, maka dapat disimpulkan bahwa siswa hendaknya belajar melalui partisipasi aktif dalam memahami konsep, prinsip, aturan dan teori. Hal ini dapat diperoleh melalui pengalaman dan melakukan eksperimen atau percobaan yang memungkinkan siswa untuk memahami konsep, prinsip, aturan dan teori itu sendiri. Pada akhirnya Bruner menunjukkan beberapa keutamaan tentang pengetahuan yang diperolah dengan cara penemuan. Keutamaan pertama adalah pengetahuan bertahan lama dan lebih mudah diingat bila dibandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan cara lain. Selain itu, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer  lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Secara menyeluruh, belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran dan kemampuan siswa untuk berpikir secara bebas (Dahar, 1989).

Kamis, 22 Agustus 2013

teori belajar otak kanan & kiri

Seseorang yang ‘hebat’ secara akademis, pada umumnya sangat kuat dalam logika, kata, daftar, angka, linieritas, analisis, dan sejenisnya. Menurut Tony Buzan (Use Your Head: 1993): hasil aktivitas otak kiri manusia.
Adapun otak kanan lebih berkaitan menangani irama, imajinasi, warna, angan-angan, kesadaran ruang, gambaran menyeluruh dan dimensi. Belakangan berkumandang anjuran, jangan hanya memanfaatkan otak kiri, otak kanan juga dong.
Konon, para ilmuwan hebat memanfaatkan otak kiri. Para seniman kuat di otak kanan. Mana tahu, Sampeyan hebat memanfaatkan otak kiri, canggih membedayakan otak kiri. Piawai menghitung fulus fasih berimajinasi. Mana tahu lho.
Setiap manusia memiliki kecenderungannya masing2 dalam penggunaan otak kanan atau otak kiri, baik sadar ataupun dibawah sadarnya. Hal ini bergantung pada banyak faktor yang mempengaruhinya sejak masih kecil bahkan sejak dalam kandungan. Kecenderungan berpikir dengan otak kanan ataupun kiri merupakan hasil dari suatu proses yang sangat panjang dan yang tak boleh kita lupakan adalah kecenderungan ini adalah suatu berkah ciptaan Allah, Sang Maha Pencipta.
Dikarenakan kedua kecenderungan berpikir ini, baik dengan otak kanan maupun dengan otak kiri merupakan ciptaan Allah, maka ada baiknya kita masing2 membuka diri untuk menyelami dan menghayati keperbedaan ini, dengan sikap yang positif.
Untuk memahami fungsi otak kita, saya coba uraikan sebagai berikut:
Otak kanan — KREATIF — Bentuk, Intuisi, Lagu &musik, Warna warni, Simbol, Gambar, Imajinasi, Menghayal
Otak kiri – ANALITIK — Bahasa verbal, Matematika, Logika, Angka2, Urutan2, Penilaian, Analisis, Linier
Dari penjabaran diatas, kita dapat simpulkan betapa perbedaan “bahasa” diantara kedua sisi otak kita adalah tidak sama. Seorang yang memilih jurusan, profesi atau pekerjaan berdasarkan kemampuan otaknya dalam mencerna “bahasa” pikiran, tentunya telah terbiasa menggunakan bagian otaknya (kanan atau kiri) sehingga bagian tersebut lebih banyak berperan dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga adalah kurang tepat, bila serta merta seorang seniman musik dipaksakan bekerja untuk menghitung angka2, rumus2 dan analisa. Demikian juga sebaliknya, adalah kurang tepat bila serta merta seorang financial analisis dipaksakan bekerja untuk hal2 yang bebahasa symbol, imajinasi dan gambar abstrak.
Selayaknya kita menganggap kecenderungan ini bukan sebagai suatu kelemahan, tapi justru menjadi suatu kelebihan pada tiap individu. Kelebihan yang bila diolah dengan baik akan menghasilkan KEKUATAN dalam diri individu itu sendiri. .
Bayangkan bila kedua kekuatan ini dapat digunakan secara adil, seimbang dan harmonis dalam suatu frame kehidupan atau kemitraan, akan menjadi suatu kekuatan yang luar biasa, karena tentunya bisa saling mengisi dan saling melengkapi. Penyeimbangan antar kedua fungsi otak kanan dan kiri inilah yang akan memberikan kontribusi pemikiran yang lebih baik daripada pemikiran yang hanya condong pada satu sisi otak saja. Namun sebagai individu yang berbeda, tentunya kendala2 pemahaman “bahasa otak” akan sedikit mengalami adaptasi, dan hal ini dapat diatasi bila kedua pihak saling bertoleransi dan berpikiran positif.
Berikut ini tip atau cara mengetahui apakah anda cenderung menggunakan otak kiri atau otak kanan.
Rentangkan dua tangan anda keatas seperti ini :
Kemudian lakukan suatu gerakan hingga kedua tangan seperti dibawah ini:
Coba anda perhatikan jempol tangan kiri dan tangan anda berada dimanakah?
jempolve4
Jika “jempol tangan kiri” anda berada paling atas (dipuncak) maka selamat anda telah bertipe “otak kanan”
Sebaliknya jika “jempol tangan kanan” anda berada diatas (dipuncak) maka maka selamat anda telah bertipe “otak kiri”
Selamat mencoba!!
NAHH KLU YANG INI
PERCOBAAN KONFLIK OTAK KIRI DAN OTAK KANAN
dengan TEST WARNA
otak kiri dan otak kanan
Coba anda perhatikan tulisan-tulisan di atas yang menyatakan warna (Kuning, orange, biru, hitam, dan selanjutnya), kemudian sebutkanlah warnanya bukan menyebutkan tulisannya. Otak kanan anda berusaha menyebutkan warnanya, tetapi otak kiri anda tetap membaca tulisannya ! Coba anda praktekkan, pasti anda akan terganggu oleh konflik otak kiri dan otak kanan anda
sumber: milis
ps: (updated)
Berikut sifat-sifat orang yang dominan otak kiri dan kanan:
Dominan Otak Kiri
Dominan Otak Kanan
Menggunakan logika Menggunakan perasaan
Berorientasi detail Berorientasi secara keseluruhan
Melihat fakta Melihat imajinasi
Kata-kata dan bahasa Simbol dan gambaran
Hari ini dan masa lalu Hari ini dan masa depan
Matematika dan ilmu pengetahuan Filosofi dan religi
Mengetahui Memahami
Mengetahui Mempercayai
Mengakui Mengapresiasi
Mempersepsi urutan/pola Mempersepsi secara spasial/ruang
Mengetahi nama objek Mengetahui kegunaan objek
Berdasar pada realita Berdasar pada fantasi
Menyusun strategi Berdasar pada apa yang terjadi
Praktis Terburu-buru/tidak sabar
Bermain aman Mengambil resiko
 

Minggu, 18 Agustus 2013

makna signifikansi dari hipotesis penelitian

Dalam bahasa Inggris umum, kata, “significant” mempunyai makna penting; sedang dalam pengertian statistik kata tersebut mempunyai makna “benar” tidak didasarkan secara kebetulan. Nilai signifikansi dari suatu hipotesis adalah nilai kebenaran dari hipotesis yang diterima atau ditolak.
Hasil penelitian dapat benar tapi tidak penting. Signifikansi/probabilitas/α memberikan gambaran mengenai bagaimana hasil penelitian itu mempunyai kesempatan untuk benar. Jika kita memilih signifikansi sebesar 0,01, maka artinya kita menentukan hasil penelitian nanti mempunyai kesempatan untuk benar sebesar 99% dan untuk salah sebesar 1%.
Secara umum kita menggunakan angka signifikansi sebesar 0,01; 0,05 dan 0,1. Pertimbangan penggunaan angka tersebut didasarkan pada tingkat kepercayaan (confidence interval) yang diinginkan oleh peneliti. Angka signifikansi sebesar 0,01 mempunyai pengertian bahwa tingkat kepercayaan atau bahasa umumnya keinginan kita untuk memperoleh kebenaran dalam penelitian kita adalah sebesar 99%. Jika angka signifikansi sebesar 0,05, maka tingkat kepercayaan adalah sebesar 95%. Jika angka signifikansi sebesar 0,1, maka tingkat kepercayaan adalah sebesar 90%.

one way-tailed and two ways-tailed

Kita sering mendengar istilah pengujian satu arah (one tailed) dan dua arah (two tailed). Dalam pembahasannya sering kali terjadi kesalahpahaman antara satu peneliti dengan peneliti yang lain, atau antara dosen dengan mahasiswa. Dalam berbagai laporan penelitian juga sering didapati, bahwa hipotesisnya satu arah, tetapi pengujiannya dua arah, atau sebaliknya. Hal tersebut sebenarnya kurang tepat secara statistik (rasanya gak enak kalau mau bilang salah) karena pengujian satu arah dan dua arah adalah hal yang tidak identik dan mempunyai nilai batas yang berbeda.

Pengujian dua arah adalah pengujian terhadap suatu hipotesis yang belum diketahui arahnya. Misalnya ada hipotesis, ‘diduga ada pengaruh signifikan antara variabel X terhadap Y’. Hipotesis tersebut harus diuji dengan pengujian dua arah. Sedangkan hipotesis yang berbunyi, ‘diduga ada pengaruh positif yang signifikan antara variabel X terhadap Y’. Nah, hipotesis tersebut harus diuji dengan pengujian satu arah. Bedanya apa? Lihat saja kedua hipotesis tersebut, ada kata positif dan tidak ada kata positif.

Jadi jika kita sudah mengetahui arah dari hubungan antara dua variabel, maka kita harus menggunakan pengujian satu arah. Coba perhatikan hipotesis ini, ‘diduga X berbeda dengan Y’. Nah pengujiannya apa? Ya jelas pengujian hipotesis dua arah. Berbeda dengan ini, ‘diduga X lebih tinggi dari pada Y’, di mana ini adalah pengujian hipotesis satu arah.

Perumusan hipotesis, apakah menggunakan arah atau tidak dilakukan berdasarkan telaah teoretis, atau merujuk kepada penelitian yang telah ada sebelumnya (kalau ada). Misalnya, sudah ada referensi bahwa variabel X berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Y, maka jika kita akan melakukan replikasi terhadap penelitian tersebut, ya sebaiknya menggunakan hipotesis satu arah. Artinya kita melangkah lebih lanjut dari pada penelitian sebelumnya yang hanya mengetahui bahwa ada pengaruh saja. Penelitian kita akan memberikan manfaat lebih lanjut, yaitu bahwa pengaruh tersebut adalah positif atau negatif (jika memang ada teori yang mendukung).

Jika kita menggunakan analisis regresi linear, maka untuk pengujian dua arah, dan menggunakan signifikansi sebesar 5%, maka signifikansi akan dilihat dari nilai signifikansi output, di bawah 0,05 (hipotesis diterima) atau di atas 0,05 (hipotesis ditolak). Kita tidak perlu melihat berapa nilai t outputnya, apakah positif atau negatif. Akan tetapi, jika kita menggunakan hipotesis satu arah, pada signifikansi 5%, maka nilai signifikansi output harus dibagi dengan dua terlebih dahulu. Misalnya output signifikansi adalah sebesar 0,096, maka hipotesis diterima, karena 0,096 : 2 = 0,048 (< 0,05).

SIGNIFIKANSI HASIL PENELITIAN

Ada yang bertanya, apakah jika penelitian dilakukan terhadap populasi (seluruh “anggota populasi” diteliti, bukan studi sampling, penelitian terhadap sebagian anggota populasi) harus ada uji signifikansi? Pertanyaan itu muncul karena umumnya dalam buku-buku statistika dan metodologi penelitian uji signifikansi itu berkaitan dengan generalisasi (pemberlakukan secara umum) hasil penelitian dari sampel ke populasinya. Dalam kalimat lain disebut dari “statistik” (hasil penelitian terhadap sampel) ke “paramater” (keadaan populasinya
STOP! Harus diulang dulu apa itu populasi dan sampel. Jika yang akan diteliti 100 orang murid, maka keseluruhan 100 orang murid itu disebut populasi. Tiap-tiap murid merupakan subjek penelitian dan disebut pula sebagai anggota populasi. Jadi, populasi murid itu beranggotakan 100 orang.  Jika keseratus orang itu semuanya diteliti (jika diangketi, ya semuanya dikirimi angket), maka disebutlah penelitiannya sebagai studi populasi. Jika yang akan diteliti (diangketi) hanya sebagian saja dari 100 orang itu, maka yang diteliti atau disebari angket itu disebut sampel. Penelitiannya disebut studi sampling.
Hasil penelitian terhadap sampel (misalnya dari 100 orang siswa yang diteliti 25 orang saja sebagai sampel) disebut sebagai “statistik.” Keadaan sebenarnya populasinya disebut sebagai “paramater.” “Statistik” (“data” dari sampel) itu kemudian digeneralisasikan (diberlaku-umumkan) kepada populasinya. Jadi, jika misalnya data dari 25 orang murid menunjukkan semuanya rajin, maka semua murid (100 orang itu) dianggap rajin semua. Ingat ceritera mencicipi sayur sepanci. Sayur sepanci itu dicicipi sesendok makan tak penuh. Sayur sesendok makan itu ternyata kurang asin. Lalu, disimpulkan bahwa seluruh sayur sepanci itu kurang asin. Itu namanya generalisasi. Sampel (25 orang murid, sayur sesendok makan) diteliti, datanya (“statistik”) dari sampel (cicipan) tadi dipakai untuk “menaksir” keadaan (parameter) populasinya. Contohnya: ditaksir 100 murid rajin semua, ditaksir sayur sepanci kurang asin semua.
Kembali ke pertanyaan semula. Pertanyaan itu sangat menarik dan menggelitik. Saya terpaksa harus buka-buka “literatur,” mengecek apakah memang itu hanya berkait dengan sampel dan populasinya, dalam hal ini berkait dengan menggeneralisasikan data dari sampel (statistik) ke populasinya (paramater)? Nah, untuk menjawabnya, akan lebih baik jika dibahas apa sih sebenarnya makna signifikansi itu.
Tunggu. Rasanya para pembaca perlu ada apersepsi (pengetahuan awal) terlebih dahulu, perlu dibawa ke dasar-dasarnya dulu. Nah, berikut dipaparkan dasar-dasar pengetahuan dimaksud.
Misalkan seseorang melakukan penelitian korelasi (mengkorelasikan variabel independen X dengan variabel dependen Y). Contohnya kerajinan kuliah dan prestasi belajarnya.  Penelitian (pengumpulan data) bersifat kuantitatif (mengukur, datanya berupa bilangan), yaitu mengukur kerajinan kuliah (dicatat presensi kuliahnya, misalnya) dan mengukur prestasi (hasil) belajar (dicatat nilai hasil ujiannya, misalnya). Data hasil mengukur tersebut, yang berupa bilangan, dianalisis dengan teknik analisis statistika. Salah satu yang harus “dilihat” dari hasil analisis itu adalah apakah hasilnya signifikan pada taraf tertentu. Signifikan itu arti mudahnya –nanti dijelaskan lebih panjang lebar–meyakinkan bahwa benar atau tidak benar.
Taraf signifikansi (t.s.) itu lazim dinyatakan dengan tanda .05 (diindonesiakan jadi 0,05) atau .01 (diindonesiakan jadi 0,01). Taraf signifikansi ini  sering diubah menjadi taraf kepercayaan (t.p.), dilambangkan dengan bilangan 95% atau 99%. Jadi, t.s. 0,05 = t.p. 95%, sedangkan t.s. 0,01 = t.p. 95%. Maksudnya apa, nanti dijelaskan.
Dalam buku-buku statistika tersedia daftar yang menunjukkan angka-angka (bilangan) tertentu pada taraf signifikansi tertentu. Lazimnya berkaitan pula dengan jumlah sampelnya ada berapa banyak. Angka-angka itu merupakan standar (patokan) untuk menentukan apakah hasil penelitian (data penelitian) signifikan atau tidak. Angka itu menunjukkan angka minimal yang harus dicapai oleh data dari penelitian agar disebut berkorelasi secara signifikan (meyakinkan). Dalam contoh korelasi di atas,  korelasi antara kerajinan kuliah dan prestasi belajar itu, signifikan (benar-benar meyakinkan bahwa benar) ataukah tidak.
Jika angka (hasil analisis komputer) yang didapat dari analisis statistik itu lebih besar dari angka standar pada taraf signifikansi .05 atau .01 (misalnya standarnya 1,5 sedangkan bilangan yang diperoleh dari analisis 1,9; jadi 1,9 > 1,5), maka dikatakanlah bahwa ada korelasi yang signifikan. Sebelum penjelasan lebih lanjut, dalam bahasa keseharian istilah itu dapat kita beri makna korelasi yang meyakinkan, tegasnya yakin benar-benar berkorelasi (berhubungan: bahwa X  “mempengaruhi” Y–Perhatikan: istilah “mempengaruhi” dalam tanda petik).
Keyakinan yang sepenuh-penuhnya dalam bahasa keseharian lazim dibahasakan dengan “yakin 100%.” Jadi, kalau yakin 99% ya sudah sangat dekat dengan 100%, begitu pula 95%. Tapi kalau “50% yakin,” itu artinya masih ragu-ragu, antara yakin dan tidak yakin. Jika hanya 25% saja yakinnya, ya jadinya tidak yakin, gitu.
Nah, apa itu maksudnya? Mari kita bahas dengan meminjam uraian Creative Reserch Systems (CRS)–online.
Istilah signifikan (significant) itu dalam bahasa Inggris umum (sehari-hari) artinya  penting. Dalam statistika, signifikan itu artinya berkemungkinan atau berpeluang betul-betul benar, bukan benar karena secara kebetulan). Bahasa Inggerisnya “probably true (not due to chance).”
Apa pula itu? Begini. Ambil contoh murid-murid yang mengerjakan ujian cekpoin. Si Anu bisa menjawab benar seluruh soal. Si B bisa menjawab benar seluruh soal juga. Demikian pula Si C dan Si D. Pertanyaannya, apakah “kebenaran” menjawab soal (bisa menjawab soal dengan benar) itu karena benar-benar tahu jawaban yang benar, ataukah hanya secara kebetulan menjawab (memilih dari pilihan ganda) jawaban yang benar? Itu kira-kira yang dimaksud “berkemungkinan benar” (benar-benar menjawab dengan benar–karena tahu jawaban yang benar) dan secara kebetulan benar (kebetulan menjawab atau memilih jawaban yang benar, padahal sejatinya tidak tahu mana jawaban yang benar dan mana yang salah). Soal cek poin kan bisa seperti itu!
Dalam penelitian pun, jawaban responden (yang ditanyai) itu bisa benar-benar (sungguh-sungguh) menjawab itu, bisa hanya kebetulan. Jelasnya asal menjawab, tetapi kebetulan pilihan jawaban yang “dihitami” dalam lembar jawaban justru yang benar.
Taraf signifikansi (significance levels) itu, menurut CRS,  menunjukkan kepada kita seberapa mungkin itu terjadi karena kebetulan saja. Jelasnya begini. Bilangan yang ditunjukkan untuk taraf signifikansi itu 0,05 atau 0,01. Itu artinya ada kemungkinan sebanyak 0,05 = 5% (atau 0,01 = 1%) responden (yang ditanyai dalam) penelitian secara kebetulan menjawab benar, begitu. Jadi, jika ada 100 orang responden, ada 5 orang (atau 1 orang) yang menjawab benar, tapi hanya secara kebetulan menjawab benar.
Taraf  kepercayaan yang umum digunakan dalam penelitian, seperti telah disinggung di muka, yang menunjukkan hasil penelitian itu seberapa dapat dipercaya kebenarannya adalah .95  (indonesianya 0,95). Itu artinya bahwa hasil penelitian itu kebenarannya 95% bisa diyakini (yakin 95%; dekat dengan bisa dipercaya 100%).
Dalam penulisan komputasi statistika  sebenarnya tidak ada penulisan taraf kepecayaan itu dengan angka .95 (atau 0,95)–Saya tuliskan dalam tanda kurung plus tulisan “atau,” sebab jika langsung dituliskan .95 (0,95) siapa tahu nanti ada yang membacanya menjadi .95 kali 0,95 (Hehehe)–Yang akan tertuliskan adalah bilangan .05 (atau 0,05). Bilangan tersebut, seperti telah disinggung di atas,  mengandung arti bahwa dalam hasil penelitian itu terkandung kemungkinan ada 5%-nya yang tidak betul-betul benar, yaitu yang hanya karena kebetulan saja benar. Ini sebenarnya “pembalikan”  dari kemungkinan benarnya 95%.  Jelasnya: kemungkinan yang benar 95%, kemungkinan yang tidak benar 5%–dari 100% jawaban responden.
Untuk mendapatkan persentase kemungkinan hasil penelitian benar, kurangkan bilangan 1,0 dengan bilangan “taraf signifikansi” tersebut. Jadi, bilangan 0,05 (atau .05) akan menjadi 1,0 – 0,05 = 0,95. Jika membacanya dengan cara lain, bukan dengan “nol koma …”, maka akan berbunyi:  satu (100 per 100 –> 100 dibagi 100 kan sama dengan 1) dikurangi 5 per seratus (100/100 – 5/100) = 95 per seratus (95/100), alias 95 per sen (sen = seratus). Maksudnya 95% hasil penelitian itu dapat diyakini benarnya.
Ini contoh hasil penelitian (dari CRS) yang mencoba mengetahui apakah ada perbedaan pembelian BBM jenis X menurut kota dan jenis kendaraan bermotor. Analisis menggunakan teknik chi square (baca “kay skwer” alias kay kuadrat).
significance table
Di bagian bawah, sejajar tulisan “Chi Square” ada bilangan 0.07 (indonesianya 0,07) dan 24.4 (indonesianya 24,4). Itu adalah bilangan hasil analisis statistika yang menunjukkan kay skwernya.
Di bawahnya ada bilangan .795 dan .001. Itu bilangan taraf signifikansinya. Maksudnya bilangan sebesar 0,07 itu hanya “signifikan” pada taraf signifikansi 0,795, dan bilangan 24,4 signifikan pada taraf signifikansi 0,001.
Lebih jelasnya, bilangan 0,07 sebagai hasil analisis data penelitian tentang perbedaan pembeli BBM X antara penduduk kota dan pinggiran kota itu kebenarannya (bahwa benar-benar ada perbedaan), yang ditunjukkan pada taraf 0,795 ( = 795/10 = 79,5/100 = 79,5%),  itu mengandung arti bahwa hanya bisa diyakini sebesar 100% – 79,5% = 20,5% saja. Jadi, jauh sekali dari yakin 100% benar ada perbedaan.
Bilangan 24,4 hasil analisis tentang adanya perbedaan pembeli BBM X antar pemilik berbagai kendaraan (beda mobil, beda beli) berada pada taraf signifikansi .001 (atau 0,001).  Itu berarti berada pada taraf kepercayaan 1,000 – 0,001 (= 1000/1000 – 1/1000 = 100/100 – 1/100 = 100% – 0,1%) = 99,9%. Artinya, yakin 99,9% bahwa ada perbedaan pembelian BBM X di antara pemilik berbagai mobil.
Nah, jadi jelaslah bahwa taraf signifikansi itu berkaitan dengan taraf “kemeyakinkanan” adanya korelasi (jika penelitian korelasi–misalnya antara kerajinan kuliah dan prestasi belajar) atau adanya perbedaan (jika perbandingan–misalnya perbandingan efektivitas teknik A berbanding teknik B, atau perbandingan “kesukaan membeli sesuatu” antara orang desa berbanding orang kota).
Tradisional (manual) uji signifikansi itu dilakukan dengan cara membandingkan bilangan yang diperoleh dari analisis data hasil penelitian (misal 0,07) dengan bilangan standar pada taraf signifikansi tertentu (misal pada taraf signifikansi 0,05 bilangannya 12,08). Bilangan 0,07 lebih kecil daripada 12,08 (lazim dituliskan 0,07 < 12,08). Itu maknanya korelasi (jika korelasi) antara X dan Y tidak signifikan (tidak meyakinkan), alias tidak ada korelasi.
Tampak dengan demikian bahwa uji signifikansi itu yang pokok bukan soal generalisasi hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel kepada populasinya, melainkan soal “kemeyakinkanan kebenaran” hasil penelitian (yakin ada korelasi atau tidak, yakin ada perbedaan atau tidak).
Selain taraf signifikansi .05 (atau 0,05), seperti telah disebutkan di muka, lazim pula digunakan taraf signifikansi .01 (atau 0,01). Akan tetapi dalam penelitian sosial yang disepakati (ingat, hanya berupa kesepakatan para ahli–di buku-buku statistik lazim diutarakan begitu) taraf signifikansi adalah taraf .05 (atau 0,05), alias taraf kepercayaannya 95% (yakin 95% benar; yang 5% diasumsikan secara kebetulan saja benar).